M. Djufri Rachim
Redaktur Kendari Pos

Berbicara tentang seks selalu dianggap tabu dan rahasia oleh sebahagian besar masyarakat Indonesia yang menganut budaya ketimuran. Karena itu meskipun seseorang telah dewasa, ada banyak bidang seksualitas yang tidak ia ketahui. Padahal itu merupakan pengetahuan dasar yang sangat penting dan relevan bagi kehidupan mereka.
Kalau Amerika yang dijuluki kampium informasi, termasuk informasi seks, tetapi masyarakatnya masih banyak yang tidak lulus menempuh Sex Information Test, maka bagaimana dengan gugus masyarakat lain yang hidup ditengah-tengah informasi seks yang hampir tiada? Fenomena ini direspon oleh M. Torsina dengan menghadirkan buku berjudul “Tanya Jawab Seputar Seks Pasca – Remaja”. Sebuah buku yang yang mengetengahkan suatu kupasan seks yang rasional, bersifat “highlighting dan problem solving” demi membantu pembacanya mengambil pelbagai keputusan seksual matang, yang tidak didasari atas kasak-kusuk, gerak hati, atau bahkan larangan semata.
Dalam kupasan tentang seks, tidak terhindarkan penggunaan kata-kata atau kalimat yang bisa dianggap “kotor” oleh sekalangan puritan. Namun, bukankah George Bernard Shaw telah memperingatkan bahwa “Kita tidak diajari untuk berpikir terhormat tentang seks. Akibatnya, kita tidak mempunyai bahasa untuk seks kecuali yang tidak terhormat”.
Salah satu contoh pertanyaan yang terdapat dalam buku ini adalah “Apakah benar bahwa hubungan seks yang buruk merupakan sebab utama perceraian?” lalu M.Torsina menjawab bahwa di Indonesia, tidak ada data yang cukup untuk kesimpulan di atas. Sekalipun alasan-alasan cerai tercantum dalam buku Pendaftaran Talak dari Kantor Urusan Agama, tetapi untuk setiap kasus cerai, pencatatannya hanya terbatas pada satu alasan yang biasa dibenarkan oleh hukum. Ini tentu tidak memadai untuk status studi ilmiah. Sedangkan di Amerika, ‘Journal of Marriage & The family’ mengungkapkan bahwa seks bukan masalah utama dari perceraian. Kurangnya komunikasi, ketidakcocokan dalam tujuan dasar, emosi yang kasar, dan konflik lain yang bersifat nonseksual, tercatat sebagai faktor-faktor utama yang menyebabkan perceraian.
Jangan lupa bahwa konflik dan ketegangan dalam bidang-bidang yang tadinya bersifat non seksual pada gilirannya akan memicu masalah seksual, sehingga hubungan seks yang buruk akan kelihatan seolah-olah menjadi biang keladi dari unsur perceraian.
Memang ada juga masalah seks yang bisa langsung menyebabkan perceraian, misalnya impoten, frigid, ketidaksetiaan pasangan, dan lain-lain. Namun, sebaliknya juga berlaku, bahwa pasangan-pasangan yang merasa rukun selama ini (happy couple) ternyata memendam masalah seks yang tinggi (50 persen diutarakan oleh suami rukun, dan 77 persen oleh istri rukun di AS).
Jadi tampaklah bahwa tatkala aspek-aspek hubungan lainnya berjalan baik, maka pasangan (yang rukun ini) bisa bertoleransi atas kekecewaan seksual yang tinggi tanpa harus memikirkan perceraian.
Ditengah bab buku ini, di ulas tentang larangan berselingkuh, penyelewengan, dan affair. Mantapkan hati Anda untuk tidak mau terlibat affair. Katakan ”TIDAK” untuk cinta dan seks dari pihak ketiga! Jangan berkompromi atau mencari dalih untuk pembenaran atas perselingkuhan, sebab bagaimanapun, Anda telah mengkhianati pasangan Anda. Jika Anda telah melakukannya, akhiri! dan meminta maaf kepada pasangan Anda.
Selain bahasan di atas, buku ini dilengkapi juga dengan solusi atas berbagai masalah, mulai dari masalah masturbasi, fantasi seks, tanggap seksual (sexual response), konflik birahi, kontra birahi, kancah sensitif, seks yang sukses dan gagal, masalah orgasme, masalah perkosaan, mengamankan AIDS, bahkan tentang pandangan baru tentang homoseksual.
Menyangkut “homoseksual”, dijelaskan dalam buku ini bahwa penyebabnya belum bisa dibuktikan secara ilmu. Dulu ada teori mengatakan , itu adalah akibat dari pertumbuhan anak di tengah-tengah sang ayah yang lemah dengan sang ibu yang dominan. Kemudian diduga kehidupan semasa kecil yang menyangkut kekaburan terhadap identitas jenis kelamin. Lalu ada yang berteori akibat hormon yang tidak seimbang, atau karena sebagian dari otak kurang berfungsi. Kelihatannya para ahli kini cenderung menganut pendapat bahwa masalah homoseksual adalah masalah keturunan, bukan masalah pengembangan diri, karena menyangkut komponen genetik terhadap homoseksual. Pada dasarnya, bakat homoseksualnya sudah ada sejak dilahirkan. Maka pada suatu waktu mereka ini akan menampakkan diri sebagai homoseksual setelah bertahun-tahun berperan sebagai heteroseksual ”normal”. Proses penampakan ini bisa berjalan lama atau secara tiba-tiba.
Jika Anda adalah seorang dewasa, buku ini sangat penting untuk dijadikan sebagai rujukan sebab buku ini memberikan pengetahuan mengenai masalah seksual secara rasional, tanpa bersifat merangsang, memberikan pengertian mengenai konsekuensi dari setiap perilaku seksual, dan membantu pengambilan keputusan yang matang dalam perkara seksual. (http://frirac.multiply.com)